Jumat, 24 Desember 2010


PERSPEKTIF ISLAM
INSTRUMEN DERIVATIF

Literatur menyebutkan instrumen derivatif adalah instrumen turunan dari aset tertentu. Ia dapat berupa turunan utama, tetapi juga merupakan turunan kedua. Karena ia merupakan produk turunan, maka nilainya pun sangat tergantung pada nilai aset utama (underlyng assets). Jika nilai aset utama turun, maka nilai aset derivatif juga turun. Begitu juga jika nilai aset utama naik, maka nilai instrumen derivatif juga akan naik. Faktor yang mempengaruhi nilai aset dalam derivatif sejumlah acuan pokok. Antara lain adalah (underlying) yaitu suku bunga (interest rate), kurs tukar (currency), komoditas (commodity), ekuitas (equity) dan indeks (index) lainnya. Dalam derivatif dikenal dua klasifikasi terbesar, yaitu derivatif berbasis forward (forward-based derivatives) dan derivatif berbasis option (options-based derivatives).
Adanya instrument derivatif memungkinkan berbagai partisipan untuk melindungi nilai aktiva yang dimilikinya dari risiko kerugian akibat kemerosotan nilai hanya sampai pada batas toleransi yang di inginkan atau di rencanakan. instrument derivatif memungkinkan para investor atau hedger bisa memilah-milah risiko. Jika sanggup, dia akan menaggung sendiri risiko yang dapat di tahan, dan jika tidak sanggup dia akan memindahkanya pada pihak lain yang bersedia menanggung risiko.Perusahaan-perusahaan yang bergerak antar lintas negara atau perusahaan multi nasional sangat menyadari bahwa mereka tidak mungkin menjalankan usahanya dengan baik tanpa perlindungan dari risiko suku bunga, dan tanpa membentengi dirinya dari risiko perubahan haga bahan baku usahanya, adanya instrument derivatif memungkinkan perusahaan tersebut melindungi dirinya dari berbagai macam risiko fluktuasi harga, dan lebih memusatkan perhatianya hanya pada usaha utamanya.
Derivatif adalah semacam kendaraan keuangan yang diturunkan dari induknya apakah induknya itu aktiva keuangan saham atau obligasi, komoditi, atau berbagai macam indeks seperti IHSG, LQ45, S&P500, Nikkei, Hangseng, Kospi, Nasdaq, Dow jones dan lain sebagainya, jadi induk derivatif adalah berbagai aktiva keuangan, berbagai macam komoditi dan berbagai macam indeks. Derivatif juga dapat dikelompokan dalam forward contract, futures contract, option contract, swap contract, atau kombinasi dari berbagai kontrak-kontrak tersebut.Semua instrument derivatif adalah kontrak antara dua pihak pembeli dan penjual yang di dalam kontraknya berbagai hal telah disepakati bersama sekarang, tetapi realisasinya atau pelaksanaan hal tersebut adalah nanti pada tanggal tertentu di masa yang akan datang.
Dalam transaksi forward contract (kesepakatan antara dua pihak untuk membeli dan menjual aktiva yang dilakukan pada tanggal tertentu di masa yang akan datang pada harga tertentu yang telah disepakati pada saat kontrak ditandatangani) dan futures contract (perjanjian atau kesepakatan untuk membeli atau menjual aktiva tertentu pada saat tertentu dengan atau pada harga tertentu dalam kurun waktu tertentu di masa yang akan datang), pada dasarnya secara teknikal tidak ada keberatan dari sudut pandang islam selama transaksi tersebut semata-mata untuk melindungi kemungkinan risiko yang terjadi dan transaksi tersebut benar-benar direalisasikan pada waktu jatuh temponya.  Konsep dasar transaksi tersebut sebenarnya sama dengan apa yang sabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, “Barang siapa yang melaksanakan salaf (forward trading) harus melaksanakannya dengan jumlah, berat, dan periode waktu yang tertentu/spesifik.”
Dengan transaksi tersebut, perusahaan dapat menjalankan bisnisnya dengan lebih produktif dan efisien dan memberikan manfaat bagi masyarakat berupa harga yang relatif rendah dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Tetapi jika transaksi derivatif tersebut digunakan untuk tujuan spekulatif, misalnya menyelesaikan transaksi sebelum jatuh temponya dengan melakukan set-off terhadap selisih harga, sebagaimana yang terjadi saat ini, maka islam jelas melarangnya.
Mufti Taqi Usmani juga mengatakan bahwa transaksi futures yang ada saat ini tidak sesuai syariah karena dua hal. Pertama, transaksi tersebut tidak dilaksanakan efektif pada waktu jatuh temponya. Kedua, pada saat kontrak dibuat, transaksi tersebut tidak dimaksudkan untuk direalisasikan. Disamping itu, menurut hemat penulis, transaksi futures tersebut juga tidak sesuai syariah karena dalam praktiknya saat ini transaksi futures tidak berhubungan langsung dengan fisik barang sehingga tidak memberikan nilai tambah kepada sektor produktif/riil dan semata-mata digunakan untuk tujuan spekulasi. Transaksi derivatif saat ini termasuk dalam kategori zero-sum game karena selisih harga yang harus dibayar/diselesaikan antara harga saat kontrak dibuat dengan harga saat jatuh temponya didebetkan ke rekening satu pihak dan dikreditkan kepihak lainnya. Oleh karenanya, transaksi derivatif disebut juga contract of differences.
Secara sederhana, future adalah transaksi jual beli komoditas, mata uang, atau sekuritas dalam jumlah tertentu, dengan tingkat harga tertentu yang ditentukan sekarang, dan komoditas/instrumen keuangan tersebut diserahkan pada waktu tertentu di masa yang akan datang. Orang yang melakukan transaksi ini berharap harga di masa depan akan lebih tinggi, sehingga ia bisa untung apabila membeli sekarang. Sedangkan option adalah  hak untuk membeli atau menjual sejumlah komoditas, mata uang, maupun sekuritas, pada waktu tertentu, dengan harga tertentu di masa depan. Berbeda dengan future, pembeli option ini "tidak berkewajiban" untuk melakukan pembelian maupun penjualan, tetapi hanya diberikan hak untuk membeli (call option) atau menjual (put option) saja. Call option akan dieksekusi apabila harga saat jatuh tempo lebih tinggi dari harga yang telah disepakati pada saat membeli option tersebut. Sebaliknya, put option akan dieksekusi apabila harga saat jatuh tempo lebih rendah dari harga yang disepakati pada saat membeli option tersebut. Sementara waran adalah hak atau opsi yang diberikan kepada pemegang saham yang lama untuk membeli saham dengan harga (subscription price), rasio dan waktu tertentu. Waran ini mirip dengan call option, meski keduanya memiliki perbedaan mendasar.
Secara umum, berinvestasi pada ketiga instrumen tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam. Secara singkat, ada dua alasan utama yang melatarbelakanginya. Pertama, ketiga instrumen tersebut mengandung unsur gharar (ketidakpastian yang tinggi). Dalam sebuah hadits sahih riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW secara tegas melarang jual beli (dengan cara) gharar. Ketidakpastian yang ada pada ketiga transaksi tersebut sangat tinggi. Kedua, ketiga instrumen tersebut juga mengandung unsur maysir (perjudian). Maysir secara eksplisit diharamkan oleh ajaran Islam, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS 5 : 90-91. Dengan pola transaksi sebagaimana dijelaskan di atas, ruang spekulasi yang mengarah pada perjudian sangat signifikan. Apalagi ada unsur zero-sum game, dimana apabila satu pihak untung, maka pihak lain pasti mengalami kerugian.

Solusi Islam
Sebagaiamana diuraikan diatas, transaksi derivatif yang pada awalnya dimaksudkan untuk mengelola dan mengendalikan risiko tetapi dalam perkembangannya telah menjadikan risiko itu sendiri sebagai komoditas dan oleh karenanya dianggap memiliki nilai dan dapat diperdagangkan. Risiko itu sendiri adalah sesuatu yang abstrak, tidak berwujud, dan tidak merepresentasikan nilai sehingga oleh karenanya tidak dapat diperdagangkan. Ibnu Taymiah, 670 tahun yang lalu telah membedakan risiko kedalam dua kategori. Pertama, risiko yang berhubungan dengan aktivitas ekonomi riil, yang dapat menghasilkan kekayaan, atau nilai tambah. Kedua, risiko yang tidak berhubungan dengan aktifitas ekonomi riil, zero-sum activities dan tidak menciptakan nilai tambah. Jenis risiko yang pertama adalah sah dan justru diperlukan dalam kegiatan ekonomi untuk mendorong spirit dan inovasi yang pada gilirannya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, adalah menjadi kewajiban kita untuk mengelola dan mengendalikan risiko tersebut sehingga daya dorongnya terhadap pertumbuhan ekonomi riil tetap positif. Untuk itu diperlukan upaya yang meliputi strategi, proses, produk dan instrument untuk mengelola dan mengendalikan risiko, yang didalam bahasa sekarang disebut dengan rekayasa keuangan (financial engineering) tetapi dengan tujuan dan cara-cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Kata kunci dalam rekayasa keuangan ini adalah inovasi dan kreatifitas dalam penciptaan produk dan instrumen yang sesuai syariah dengan tujuan untuk memberikan solusi terhadap berbagai masalah keuangan.
Setiap inovasi akan menghasilkan perubahan, tetapi hanya perubahan yang memberikan value atau nilai tambah yang dapat diterima sedangkan perubahan yang justru mengakibatkan kerusakan haruslah ditolak. Begitu pula halnya dengan kreatifitas yang pada dasarnya timbul karena adanya berbagai keterbatasan. Keterbatasan yang kita hadapi atau miliki saat ini, seperti lingkungan bisnis dan peraturan yang belum mendukung, kuantitas dan kualitas sumber daya insani yang belum memadai serta keterbatasan lainnya, haruslah menjadi stimulant bagi timbulnya kreatifitas yang memberikan nilai tambah bagi kemajuan industri keuangan.

Prinsip Muamalah dalam Islam
Dalam melakukan upaya-upaya inovatif dan kreatif tersebut, islam memberikan berbagai pedoman atau prinsip yang harus diperhatikan, yaitu antara lain:
1.      Keseimbangan: ini merupakan prinsip islam secara umum dan tentunya berlaku bagi setiap kegiatan ekonomi dan keuangan islam, termasuk kegiatan kreatif dan inovatif dalam penciptaan proses, instrument dan produk keuangan. Ekonomi islam tidak semata-mata berorientasi kepada keuntungan finansial untuk pelaku individu tetapi juga keuntungan sosial untuk masyarakat dan alam sekitar. Bukan hanya untuk kepentingan dunia tetapi juga kepentingan akhirat. Konsekwensinya, setiap proses, instrument dan produk keuangan yang dihasilkan harus memenuhi kedua kepentingan tersebut.
2.      Kerjasama dan Interdependensi: Untuk dapat menerapkan prinsip keseimbangan tersebut, cara-cara yang dilakukan haruslah bersifat kerjasama dan saling ketergantungan, bukan persaingan, seperti semakin banyaknya usaha bersama secara terbuka dibidang teknologi informasi, yang salah satunya lazim dikenal dengan sebutan “open sources”. Bisnis yang memadukan atau menyeimbangkan antara kepentingan mendapatkan keuntungan dengan kepentingan sosial menjadikan pengembangan proses, instrumen, dan produk keuangan dapat dilakukan secara produktif, optimal dan efisien.
3.      Akseptabilitas: Dalam dunia muamalah atau bisnis, islam mengajarkan bahwa segala sesuatu itu boleh kecuali secara tegas dilarang. Artinya, kesempatan sangat terbuka luas bahkan nyaris tanpa batas untuk melakukan kreasi dan inovasi sepanjang hasilnya lebih memberikan manfaat daripada mudharat. Batasan atau larangan yang ada terutama terhadap kegiatan yang tidak berkeadilan seperti riba dan gharar. Riba memisahkan kegiatan disektor keuangan/moneter dengan kegiatan disektor riil atau produktif. Riba telah mengakibatkan kegiatan keuangan jauh melampaui kegiatan riil sehingga menimbulkan ekonomi gelembung dan akhirnya terjadi krisis ekonomi karena prinsip keseimbangan dan interdepensi antara kegiatan di kedua sektor ekonomi tersebut dilanggar. Gharar dilarang karena didalamnya terdapat unsur-unsur yang meragukan atau tidak jelas yang mengakibatkan timbulnya risiko. Transaksi gharar adalah transaksi yang hanya mendasarkan pada risiko tersebut dan bukan pada barang atau obyek yang nyata. Oleh karenanya gharar disebut sebagai “trading in risk”. Keragu-raguan atau ketidak jelasan dalam transaksi tersebut menghambat kegiatan ekonomi menjadi produktif dan efisien.
4.      Integrasi: Untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang berimbang dan berkelanjutan, islam mengharuskan adanya interaksi dan integrasi antara sektor moneter/keuangan dan sektor riil. Setiap pertambahan nilai uang sebesar satu rupiah harus diimbangi dengan pertambahan barang dan jasa disektor riil dengan nilai yang sama. Faktor waktu (masa) dan risiko merupakan prasyarat dan harus pula saling berinteraksi dan berintegrasi bagi upaya pertumbuhan dikedua sektor ekonomi tersebut secara seimbang. Faktor waktu merupakan variabel dari riba dan faktor risiko merupakan variabel dari gharar. Dengan menjaga keduanya tetap berinteraksi dan berintegrasi, baik antar keduanya maupun dengan kegiatan ekonomi riil, maka riba dan gharar dapat dihindari, dan pertumbuhan ekonomi melalui kegiatan disektor moneter dan sektor riil secara terintegrasi akan efisien dan berkesinambungan.



Rekomendasi Instrumen Derivatif Islam
Sebagaimana telah diuraikan dimuka bahwa transaksi derivatif pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya lindung nilai terhadap hasil-hasil dari kegiatan ekonomi di sektor riil. Tetapi dalam praktiknya, transaksi derivatif telah terlepas dari kegiatan di sektor riil dan menjadi ajang spekulasi.
Dalam rangka upaya lindung nilai, pada dasarnya ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu: economic hedging, cooperative hedging dan contractual hedging. Berbagai instrumen keuangan islam seperti murabahah, mudharabah dan musyarakah, dapat digunakan sebagai upaya lindung nilai tersebut sesuai dengan karakteristik transaksi atau risikonya.

Larangan Transaksi Derivatif
Pelarangan riba yang secara tegas terdapat dalam Al-Qur’an (QS: 2 :275-279), pada hakikatnya merupakan pelarangan terhadap transaksi maya atau derivatif . Firman Allah yang artinya, “Allah menghalalkan jual-beli (sektor riil) dan mengharamkan riba (tranksaksi maya).” Dalam transaksi maya, tidak ada sektor riil (barang dan jasa) yang diperjualbelikan. Mereka hanya memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi. Tambahan (gain) yang diperoleh dari jual beli itu termasuk kepada riba, karena gain itu diperoleh bighairi wadhin, yakni tanpa ada sektor riil yang dipertukarkan, kecuali mata uang  atau kertas-kertas itu sendiri. Dalam transaski derivatif juga tidak ada ma’kud ’alaih, berupa barang atau jasa  yang menjadi rukun dalam transaksi bisnis. Transaski inilah yang  dilarang al-Quran dan al-Hadits dengan istilah riba dan gharar.
Allah sudah memberikan jawaban dalam al-Quran bahwa akar masalah kerusakan ekonomi adalah riba (QS.30 : 39-41) . Dalam semua Kitab suci yang diturunkanya, Taurat dan Injil, juga telah mengharamkan riba. Tak diragukan sedikitpun bahwa akar masalah yang paling utama adalah sistem riba yang menjadi instrumen dan jantung kapitalisme dalam seluruh transaksi keuangan. Walaupun harus diakui bukan riba satu-satunya yang menjadi akar terjadinya krisis finansial tersebut.
Dalam surah Ar-Rum ayat 41 Allah berfirman yang artinya, ”Telah nyata kerusakan di darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah.”
Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem moneter ribawi yang dijalankan oleh manusia, pendekarnya adalah Amerika dan Eropa dan selanjutnya diikuti oleh Indonesia dan negara lainnya. Ayat sebelumnya yakni ayat 39 berbicara dengan jelas bahwa sistem riba tidak akan menumbuhkan ekonomi masyarakat, tetapi malah merusak perekonomian. Firman Allah yang artinya, “Apa yang kamu berikan (pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia betambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah.” (QS.ar-Rum : 39)
Ayat al-Quran tersebut berbicara dalam konteks ekonomi makro, artinya menganalisis ekonomi secara agregat, bukan secara mikro, seperti membandingkan harga jual beli murabahah dengan bunga bank konvesnional. Bunga bank konvensional bagi banyak orang tak begitu terasa bagi kerusakan ekonomi, tetapi ketika bunga sudah menjadi sistem finansial global dan nasional, maka dampaknya luar biasa jahat bagi pembangunan ekonomi. Bunga, sedikit atau banyak tetap disebut riba, sebagaimana daging babi yang sedikit dengan yang banyak, yang sedikit tetap daging babi juga. Hadits Nabi Muhammad SAW, “Sedikit dan banyaknya hukumnya haram.”. Demikian pula riba, baik diterapkan dalam ekonomi mikro maupun makro tetap haram.  Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Menurut pakar ekonomi Islam asal USA, Prof.Dr.Monzer Kahf, riba telah memberikan  kontribusi yang besar kepada krisis ini meskipun ia mengakui bahwa riba itu sendiri bukanlah satu-satunya elemen penyebab krisis. Riba  memberikan konstribusi  melalui  transaksi-transaski derivative dan spekulatif  pada institusi institusi keuangan. Penyebab lainnya ialah hawa nafsu serakah  mencari keuntungan dari mereka yang tidak berdaya meneruskan pembayaran hutang. Sikap ini juga adalah gejala dari expanded consumerism dalam masyarakat Amerika itu sendiri.
Kegagalan sistem keuangan sebagai akibat dari trinitas setan (riba, gharar, dan maisir) itu, dengan bahasa yang berbeda, secara implisit diakui oleh Henry Poulson, Menteri Keuangan Amerika Serikat. Dalam laporannya sebagai Ketua President’s Working Group (PWG) on Financial Markets (April 2008), Poulson dengan tegas menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya krisis subprime mortgages di AS adalah: (1) merosotnya mutu/standar penjaminan bagi subprime mortgages; (2) erosi yang signifikan terhadap disiplin pasar yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dengan proses sekuritisasi, termasuk originators, underwriters, credit rating agencies, dan global investors; (3) kegagalan dalam menyediakan dan memperoleh informasi risiko (risk disclosures) yang memadai; (4) kelemahan yang mencolok (significant flaws) pada perusahaan pemeringkat kredit, khususnya dalam menilai: a) subprime residential mortgage backed securities (RMBS) dan b) collateralized debt obligations (CDOs) yang dikaitkan dengan RMBS dan asset backed securities (ABS) lainnya; (5) kelemahan manajemen risiko pada sejumlah institusi keuangan besar di AS dan Eropa; dan (6) kelemahan regulasi termasuk mengenai persyaratan modal dan keterbukaan informasi (disclosure) yang gagal dalam memitigasi kelemahan manajemen risiko.
Keenam hal tersebut di atas yang menurut Poulson marak terjadi  sejak tahun 2004, bertepatan dengan masa jabatan kedua Presiden Bush, secara sengaja atau tidak sengaja, telah ikut menyuburkan transaksi yang bersifat gharar dan maisir sehingga transaksi keuangan yang seharusnya didasarkan kepada underline asset, keterbukaan dan fairness berubah menjadi transaksi keuangan yang bersifat sangat spekulatif dan juga addictive yang sangat berbahaya dan sulit dihentikan.
Interaksi pasar modal yang penuh gharar dan maisir dengan perbankan yang ribawi, selain dengan cepat menggoyahkan sendi-sendi sistem dan pasar keuangan--akibat asset write down yang menggerus aset dan modal serta bad debt yang menggerus laba, juga semakin menjauhkan kegiatan sektor keuangan dari sektor riil. Lebih buruk lagi, dampak negatif tersebut juga harus dirasakan oleh perusahaan dan negara yang sebelumnya tak ada permasalahan serius.
Solusi Dampak Negatif Derivatif
Upaya saat ini yang banyak dibahas untuk mengurangi dampak buruk derivatif adalah membuat regulasi dan supervisi yang sophisticated. Namun, Menurut Aziz Setiawan, pakar ekonomi Islam Paramadina, ketika regulasi tidak menyentuh pembatasan kemampuan bermutasi dan bermetamorfosis derivatif, ancaman krisis sistemik akan selalu ada. Metamorfosis dan mutasi derivatif berkembang ketika terjadi pemisahan risiko dari aktivitas ekonomi riil, sehingga risiko bertransformasi menjadi "komoditas" dan membuatnya dapat ditransaksikan secara terpisah.
Komoditisasi risiko membuat risiko menjadi semakin berbiak. Ketika risiko terpisah dari sektor riil, tidak ada batasan jenis risiko yang bisa ditransaksikan, mulai dari saham, obligasi, komoditas, indeks, valuta, rating perusahaan, penyelesaian takeover, cuaca serta risiko lainnya. Lebih jauh lagi bahkan, derivatif dapat diturunkan dari derivatif lainnya, sehingga lahirlah options on futures, futures on options, options on options, dan lain-lain.
Hal ini, membuat volume dan pertumbuhan derivatif terpisah dari sektor riil. Karena sektor riil jauh lebih kompleks dan dihadapkan pada berbagai kendala, maka pertumbuhan pasar derivatif jauh lebih cepat dari barang dan jasa riil. Maka tak mengherankan bila volume derivatif telah berbiak lebih sepuluh kali lipat dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) seluruh dunia yang hanya US$60 triliun.
Berdasarkan data Bank for International Settlements (BIS), volume transaksi derivatif dalam 6 tahun terakhir telah membengkak lebih dari enam kali lipat; dari sekitar US$100 triliun menjadi US$683 triliun tahun 2008. Akhirnya regulasi tanpa menyentuh aspek pembatasan kemampuan bermutasi dan bermetamorfosis derivatif, tidak akan terlalu membantu meredam daya ledak bom waktu ini.
Dalam tulisan Agustianto (2007), disebutkan bahwa volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation and derivative market) dunia berjumlah US$ 1,5 trillion hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 trillion setiap tahunnya (Rasio 500:6 ), sekitar 1-an %. Celakanya lagi, hanya 45 persen dari transaksi di pasar, yang spot, selebihnya adalah forward, futures,dan options. Sementara itu menurut Kompas September 2007, uang yang beredar dalam ransaksi valas mencapai 1,3 triliun dalam setahun. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan semakin melejit meningalkan sektor riil. Dengan demikian balonnya semakin besar dan semakin rawan mengalami letupan. Ketika balon itu meletus, maka terjadilah krisis seperti yang sering kita saksikan di muka bumi ini.
Gejala decoupling, sebagaimana digambarkan di atas, disebabkan, karena fungsi uang bukan lagi sekedar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian milyaran dollar AS.
Berdasarkan realitas itulah, maka Konferensi Tahunan Association of Muslim Scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riil.
Kegiatan bisnis yang memisahkan sektor moneter dan riil, tidak lain adalah praktik riba. Istilah kontemporer menyebutnya derivatif. Dalam transaksi derivatif saat ini, sesungguhnya telah menyatu tiga serangkai riba, maysir dan gharar. Sistem bisnis derivatif dalam pandangan Islam, merupakan sebuah kejahatan besar, sehinga pelakunya abadi di neraka (2:275), karena dosanya tak termaafkan. Dampaknya bisa menghangcurkan ekonomi banyak negara sebagai mana yang kita rasakan dan saksikan saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar