Jumat, 24 Desember 2010


TRANSAKSI DERIVATIF:
LUKA DALAM YANG MENJALAR

Rapor Merah Transaksi Derivatif
Sejarah mencatat bahwa sepanjang satu abad belakangan ini, krisis keungan terus terjadi dan terulang di belahan dunia. Krisi terbesar terjadi pada tahun 2008 yang lalu. Bahkan menurut Stiglitz (pemenang Hadiah Nobel 2002 di Harvard University), Gread Deppretion pada tahun 1929 masih terlalu kecil untuk dibandingkan dengan krisis global yang melanda tahun 2008 kemarin. Saat itu, Amerika Serikat yang seharusnya memiliki tanggung jawa penuh atas kestabilan dan kesehatan sistem dan pasar keuangan dunia justru terjerumus dalam jurang krisis yang sangat dalam. Penyebab utama krisis yang berpengaruh terhadap perekonomian dunia itu adalah transaksi derivatif dan spekulatif di pasar uang dan pasar modal yang menggunakan praktik bunga/riba, maysir, dan gharar. Peristiwa ini juga menyebabkan ambruknya beberapa lembaga keuangan raksasa lain di dunia.
Karena peristiwa inilah, istilah derivatif menjadi sangat akrab di masyarakat. Ambruknya lembaga-lembaga tersebut memicu pengetahuan tentang derivatif menjadi sangat negatif dan membuat mereka menjadi antipati. Seakan-akan tidak ada nilai positif yang terkandung di dalamnya. Pendeknya,  derivatif telah melahirkan sikap traumatik yang luar biasa di masyarakat sehingga mereka alergi mendengarnya dan tidak sedikit yang mengharamkan transaksi derivatif karena penuh dengan spekulatif.
Transkasi derivatif telah menjelma menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan menciptakan mega-catastrophic yang dapat meluluhlantakkan sistem finansial global. Hal ini disebabkan ekspansi derivatif telah menciptakan bubble yang sangat besar dalam ekonomi dunia. George Soros menyebut instrumen derivatif sebagai hydrogen bombs, sementara Warren Buffett menjulukinya sebagai financial weapons of mass destruction.
Salah satu investor ulung kelas dunia, Warrant Buffett, bahkan mengatakan bahwa transaksi derivatif sebagai senjata keuangan pemusnah missal, yang artinya traksaksi tersebut dapat menghancurkan ekonomi dunia dalam waktu singkat sebagaimana telah terbukti dengan apa yang dialami oleh Amerika Serikat saat ini. Pemerintah Amerika akhirnya juga sempat melarang transaksi derivatif tersebut di pasar modal. Paul Krugman juga mengatakan bahwa ekonomi dunia telah menjadi tempat yang sangat berbahaya dari yang kita bisa bayangkan sebagai akibat dari praktik transaksi derivatif.
Para ekonom dan pakar keuangan telah mengidentifikasi dan berkonklusi bahwa transaksi derivatif menjadi puncak dan penyebab utama semua bencana ekonomi besar yang terjadi sejak tahun 1929 di Amerika Serikat. Sistem riba, maysir dan gharar (derivative) jugalah yang berada di belakang crash pasar saham Wall Street tahun 2001 yang dikenal sebagai Black Monday, juga krisis keuangan dan perbankan di tahun 1987.
Bisnis derivative ini jugalah  menjadi penyebab terjadinya krisis finansial Asia 1997/1998; penyebab kolapsnya hedge fund raksasa Long Term Capital Management (LTCM) tahun 1998; ambruknya bank dagang tertua Inggris, Barrings Bank; kolapsnya Enron; pemicu krisis ekonomi Argentina; serta menjadi pemantik krisis keuangan dan ekonomi global saat ini.
Hal ini menurut Kavaljit Singh (2000), terjadi karena transaksi derivatif yang awalnya digunakan untuk mengurangi risiko (hedging) akibat pergerakan harga tidak lagi wujud, malahan menjadi instrumen spekulasi.

Larangan Transaksi Derivatif
Pelarangan riba yang secara tegas terdapat dalam Al-Qur’an (QS: 2 :275-279), pada hakikatnya merupakan pelarangan terhadap transaksi maya atau derivatif . Firman Allah yang artinya, “Allah menghalalkan jual-beli (sektor riil) dan mengharamkan riba (tranksaksi maya).” Dalam transaksi maya, tidak ada sektor riil (barang dan jasa) yang diperjualbelikan. Mereka hanya memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi. Tambahan (gain) yang diperoleh dari jual beli itu termasuk kepada riba, karena gain itu diperoleh bighairi wadhin, yakni tanpa ada sektor riil yang dipertukarkan, kecuali mata uang  atau kertas-kertas itu sendiri. Dalam transaski derivatif juga tidak ada ma’kud ’alaih, berupa barang atau jasa  yang menjadi rukun dalam transaksi bisnis. Transaski inilah yang  dilarang al-Quran dan al-Hadits dengan istilah riba dan gharar.
Allah sudah memberikan jawaban dalam al-Quran bahwa akar masalah kerusakan ekonomi adalah riba (QS.30 : 39-41) . Dalam semua Kitab suci yang diturunkanya, Taurat dan Injil, juga telah mengharamkan riba. Tak diragukan sedikitpun bahwa akar masalah yang paling utama adalah sistem riba yang menjadi instrumen dan jantung kapitalisme dalam seluruh transaksi keuangan. Walaupun harus diakui bukan riba satu-satunya yang menjadi akar terjadinya krisis finansial tersebut.
Dalam surah Ar-Rum ayat 41 Allah berfirman yang artinya, ”Telah nyata kerusakan di darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah.”
Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem moneter ribawi yang dijalankan oleh manusia, pendekarnya adalah Amerika dan Eropa dan selanjutnya diikuti oleh Indonesia dan negara lainnya. Ayat sebelumnya yakni ayat 39 berbicara dengan jelas bahwa sistem riba tidak akan menumbuhkan ekonomi masyarakat, tetapi malah merusak perekonomian. Firman Allah yang artinya, “Apa yang kamu berikan (pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia betambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah.” (QS.ar-Rum : 39)
Ayat al-Quran tersebut berbicara dalam konteks ekonomi makro, artinya menganalisis ekonomi secara agregat, bukan secara mikro, seperti membandingkan harga jual beli murabahah dengan bunga bank konvesnional. Bunga bank konvensional bagi banyak orang tak begitu terasa bagi kerusakan ekonomi, tetapi ketika bunga sudah menjadi sistem finansial global dan nasional, maka dampaknya luar biasa jahat bagi pembangunan ekonomi. Bunga, sedikit atau banyak tetap disebut riba, sebagaimana daging babi yang sedikit dengan yang banyak, yang sedikit tetap daging babi juga. Hadits Nabi Muhammad SAW, “Sedikit dan banyaknya hukumnya haram.”. Demikian pula riba, baik diterapkan dalam ekonomi mikro maupun makro tetap haram.  Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Menurut pakar ekonomi Islam asal USA, Prof.Dr.Monzer Kahf, riba telah memberikan  kontribusi yang besar kepada krisis ini meskipun ia mengakui bahwa riba itu sendiri bukanlah satu-satunya elemen penyebab krisis. Riba  memberikan konstribusi  melalui  transaksi-transaski derivative dan spekulatif  pada institusi institusi keuangan. Penyebab lainnya ialah hawa nafsu serakah  mencari keuntungan dari mereka yang tidak berdaya meneruskan pembayaran hutang. Sikap ini juga adalah gejala dari expanded consumerism dalam masyarakat Amerika itu sendiri.
Kegagalan sistem keuangan sebagai akibat dari trinitas setan (riba, gharar, dan maisir) itu, dengan bahasa yang berbeda, secara implisit diakui oleh Henry Poulson, Menteri Keuangan Amerika Serikat. Dalam laporannya sebagai Ketua President’s Working Group (PWG) on Financial Markets (April 2008), Poulson dengan tegas menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya krisis subprime mortgages di AS adalah: (1) merosotnya mutu/standar penjaminan bagi subprime mortgages; (2) erosi yang signifikan terhadap disiplin pasar yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dengan proses sekuritisasi, termasuk originators, underwriters, credit rating agencies, dan global investors; (3) kegagalan dalam menyediakan dan memperoleh informasi risiko (risk disclosures) yang memadai; (4) kelemahan yang mencolok (significant flaws) pada perusahaan pemeringkat kredit, khususnya dalam menilai: a) subprime residential mortgage backed securities (RMBS) dan b) collateralized debt obligations (CDOs) yang dikaitkan dengan RMBS dan asset backed securities (ABS) lainnya; (5) kelemahan manajemen risiko pada sejumlah institusi keuangan besar di AS dan Eropa; dan (6) kelemahan regulasi termasuk mengenai persyaratan modal dan keterbukaan informasi (disclosure) yang gagal dalam memitigasi kelemahan manajemen risiko.
Keenam hal tersebut di atas yang menurut Poulson marak terjadi  sejak tahun 2004, bertepatan dengan masa jabatan kedua Presiden Bush, secara sengaja atau tidak sengaja, telah ikut menyuburkan transaksi yang bersifat gharar dan maisir sehingga transaksi keuangan yang seharusnya didasarkan kepada underline asset, keterbukaan dan fairness berubah menjadi transaksi keuangan yang bersifat sangat spekulatif dan juga addictive yang sangat berbahaya dan sulit dihentikan.
Interaksi pasar modal yang penuh gharar dan maisir dengan perbankan yang ribawi, selain dengan cepat menggoyahkan sendi-sendi sistem dan pasar keuangan--akibat asset write down yang menggerus aset dan modal serta bad debt yang menggerus laba, juga semakin menjauhkan kegiatan sektor keuangan dari sektor riil. Lebih buruk lagi, dampak negatif tersebut juga harus dirasakan oleh perusahaan dan negara yang sebelumnya tak ada permasalahan serius.

Solusi Dampak Negatif Derivatif
Upaya saat ini yang banyak dibahas untuk mengurangi dampak buruk derivatif adalah membuat regulasi dan supervisi yang sophisticated. Namun, Menurut Aziz Setiawan, pakar ekonomi Islam Paramadina, ketika regulasi tidak menyentuh pembatasan kemampuan bermutasi dan bermetamorfosis derivatif, ancaman krisis sistemik akan selalu ada. Metamorfosis dan mutasi derivatif berkembang ketika terjadi pemisahan risiko dari aktivitas ekonomi riil, sehingga risiko bertransformasi menjadi "komoditas" dan membuatnya dapat ditransaksikan secara terpisah.
Komoditisasi risiko membuat risiko menjadi semakin berbiak. Ketika risiko terpisah dari sektor riil, tidak ada batasan jenis risiko yang bisa ditransaksikan, mulai dari saham, obligasi, komoditas, indeks, valuta, rating perusahaan, penyelesaian takeover, cuaca serta risiko lainnya. Lebih jauh lagi bahkan, derivatif dapat diturunkan dari derivatif lainnya, sehingga lahirlah options on futures, futures on options, options on options, dan lain-lain.
Hal ini, membuat volume dan pertumbuhan derivatif terpisah dari sektor riil. Karena sektor riil jauh lebih kompleks dan dihadapkan pada berbagai kendala, maka pertumbuhan pasar derivatif jauh lebih cepat dari barang dan jasa riil. Maka tak mengherankan bila volume derivatif telah berbiak lebih sepuluh kali lipat dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) seluruh dunia yang hanya US$60 triliun.
Berdasarkan data Bank for International Settlements (BIS), volume transaksi derivatif dalam 6 tahun terakhir telah membengkak lebih dari enam kali lipat; dari sekitar US$100 triliun menjadi US$683 triliun tahun 2008. Akhirnya regulasi tanpa menyentuh aspek pembatasan kemampuan bermutasi dan bermetamorfosis derivatif, tidak akan terlalu membantu meredam daya ledak bom waktu ini.
Dalam tulisan Agustianto (2007), disebutkan bahwa volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation and derivative market) dunia berjumlah US$ 1,5 trillion hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 trillion setiap tahunnya (Rasio 500:6 ), sekitar 1-an %. Celakanya lagi, hanya 45 persen dari transaksi di pasar, yang spot, selebihnya adalah forward, futures,dan options. Sementara itu menurut Kompas September 2007, uang yang beredar dalam ransaksi valas mencapai 1,3 triliun dalam setahun. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan semakin melejit meningalkan sektor riil. Dengan demikian balonnya semakin besar dan semakin rawan mengalami letupan. Ketika balon itu meletus, maka terjadilah krisis seperti yang sering kita saksikan di muka bumi ini.
Gejala decoupling, sebagaimana digambarkan di atas, disebabkan, karena fungsi uang bukan lagi sekedar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian milyaran dollar AS.
Berdasarkan realitas itulah, maka Konferensi Tahunan Association of Muslim Scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riil.
Kegiatan bisnis yang memisahkan sektor moneter dan riil, tidak lain adalah praktik riba. Istilah kontemporer menyebutnya derivatif. Dalam transaksi derivatif saat ini, sesungguhnya telah menyatu tiga serangkai riba, maysir dan gharar. Sistem bisnis derivatif dalam pandangan Islam, merupakan sebuah kejahatan besar, sehinga pelakunya abadi di neraka (2:275), karena dosanya tak termaafkan. Dampaknya bisa menghangcurkan ekonomi banyak negara sebagai mana yang kita rasakan dan saksikan saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar